Tehnik Aikido dan
Filosofinya
Aikido adalah perpaduan unik antara berbagai
tehnik seni bela diri kuno Jepang dengan filosofi sinkretisme agama di Jepang
seperti Shintoisme, Zen Budhisme, atau sistem kepercayaan religi Sekte Omotokyo
yang dianut oleh pendiri Aikido; Morihei Ueshiba.
Hal ini berarti bahwa mempelajari aikido, tidak semata
mengerti tatacara gerak fisik bela dirinya semata, namun juga harus memahami
filosofi apa yang mendasari tehnik fisik yang ada. Sebab, jika tidak, maka
seorang praktisi aikido akan memahami bela diri aikido sebagai semata-mata
salah satu jenis olah raga semata. Aikido kemudian akan kehilangan esensinya
sebagai aikido, dan tinggal sebagai tehnik bela diri semata, yang
tehnik-tehniknya juga ada terdapat di bela diri lain seperti aikijitsu atau
judo.
1. UKEMI
Ukemi secara literal
bermakna “menerima (bersama dengan seluruh tubuh)”. Ukemi adalah bagian dari
olah gerak seorang “uke” atau penerima tehnik. Sebagaimana praktisi aikido
belajar strategi
tentang bagaimana menghadapi dan melumpuhkan serangan, maka praktisi juga belajar cara mengantisipasi bila menerima tehnik aikido, belajar strategi untuk terjatuh.
tentang bagaimana menghadapi dan melumpuhkan serangan, maka praktisi juga belajar cara mengantisipasi bila menerima tehnik aikido, belajar strategi untuk terjatuh.
Tehnik ukemi terbagi
menjadi 3 bagian besar: Mae Ukemi, Ushiro Ukemi dan Yoko Ukemi. Mae Ukemi
adalah cara menyalurkan tubuh uke ketika menerima lemparan ke arah depan uke.
Ushiro ukemi adalah cara menyalurkan tubuh uke ketika menerima tehnik aikido
yang melemparnya ke belakang. Sedangkan yoko ukemi adalah cara menyalurkan
tubuh menerima tehnik lemparan atau bantingan.
Ukemi menjadi salah
ketrampilan dasar untuk memahami prinsip-prinsip berlatih aikido, sehingga
semakin tinggi ketrampilan aikido seseorang, maka seharusnya semakin tinggi
pula ketrampilannya dalam melakukan ukemi.
Dalam berlatih tehnik
bebas atau jiyuwaza, seorang uke harus bisa dan siap untuk menerima tehnik
apapun yang disalurkan kepadanya. Pada intinya, uke harus siap jatuh kapanpun,
dan ia terhindar dari cidera.
Di dalam kehidupan nyata,
ukemi sangat penting untuk mengajarkan bahwa orang harus bersiap untuk jatuh
kapanpun, dan cepat bangun setelah jatuh. Banyak orang yang tidak siap jatuh di
kehidupan nyata, sehingga ketika tertimpa masalah yang berat hingga terpuruk,
mereka tiada sanggup untuk segera bangun dan membangun hidup baru.
Kita lihat di sekeliling,
bagaimana masalah dikehidupan sehari-hari seperti masalah ekonomi, musibah
bencana alam, ketika datang – dalam sekejap saja mampu memporakporandakan
segi-segi kehidupan. Sebagian orang mampu bertahan, sebagian yang lain jatuh
stress.
Ukemi, lebih jauh, bukan
hanya ketrampilan fisik yang perlu senantiasa diasah, namun juga mencakup aspek
mental dalam menerima kejatuhan oleh karena suatu permasalahan berat.
2. MA’AI
Ma’ai adalah jarak yang
aman antar partner dalam memulai posisi awal dalam latihan aikido. Sebenarnya,
konsep ma’ai ini terdapat dalam semua bela diri. Secara praktis jika dua orang
yang bertarung bertemu, maka keduanya akan menjaga jarak yang cukup aman ketika
memulai berdiri awal sebelum pertarungan. Jarak ini perlu bagi penyerang supaya
penyerang tidak gampang dimasuki garis pertehanannya ketika penyerang sedang
mengamati lawan. Untuk pembela diri, jarak yang aman dengan penyerangnya juga
perlu supaya pembela diri tidak gampang diserang.
Ketika penyerang dan
pembela diri sudah berdiri berhadapan, masing-masing telah mengambil posisi
“ma’ai”, maka siapapun yang memasuki “ma’ai” orang lain, maka yang dimasuki
“ma’ai”nya akan segera bereaksi untuk merespon serangan.
Jika dalam bertarung ma’ai
ini diabaikan, maka siapapun akan mengalami kesulitan dan menempuh resiko.
Seorang penyerang yang ma’ai-nya terabiakan akan mudah dilumpuhkan oleh pembela
diri, demikian juga pembela diri – bila ma’ai-nya terabiakan dia akan mudah
sekali diserang.
Ma’ai adalah kondisi
keseimbangan dalam posisi siaga.
Dalam kehidupan nyata, di
sadari atau tidak, dalam berhubungan dengan orang lain, kita akan mengambil
jarak yang cukup supaya hubungan dengan orang lain tersebut harmonis. Dalam
bahasa sehari-hari, ma’ai bisa dianalogikan dengan privasi, posisi status
sosial, strata struktural kepegawaian atau organisasi, hubungan sosial dan
hirarkinya dan lain sebagainya.
Orang tidak bisa dengan
seenaknya masuk ke wilayah privasi orang lain, sebagimana kita tidak ingin
privasi kita dimasuki orang lain. Saling melanggar privasi akan merusak
harmoni, yang dengan demikian masing-masing orang akan merasa tidak aman, tidak
nyaman. Perasaan negatif tersebut tentu akan menimbulkan rasa seperti tidak
respek , tidak suka, terancam dan lain sebagainya.
Sebaliknya, jika kita
terlalu jauh dengan orang lain dalam emmbina hubungan sosial, maka tentu saja
ini akan membawa dampak kesenjangan sosial. Orang jadi acuh tak acuh dengan
orang lain, masa bodoh, dan nilai-nilai kerjasama sosial menjadi sulit
dilaksanakan.
Filosofi ma’ai memiliki memberikan makna bahwa orang harus tahu kapan masuk
wilayah privasi orang lain, dan kapan untuk tetap berada diluar privasi orang
lain namun tidak terlalu menjauh. Orang pun harus tahu kapan seharusnya ia
membuka wilayah privasi untuk orang lain demi sebuah keakraban, atau kapan dia
harus menutup rapat privasinya untuk orang lain.